Artien Utrecht
Telah terbit di dalam “Dari Beranda Tribunal, Bunga Rampai Kisah Relawan”, oleh Friends of the International People’s Tribunal 1965 dan Ultimus, Maret 2017 (hal. 26-33)
Ketika mendengar tentang prakarsa IPT’65 yang diluncurkan oleh sekelompok kawan Belanda dan Indonesia, saya tergugah. Ini aksi yang diperlukan! Dan, timingnya begitu tepat: 50 tahun sesudah kejadian. “Waktu harus segera diluangkan untuk bergabung, menyumbang tenaga dan keahlian”, begitu pikir saya.
Namun sejenak kemudian saya bertanya: tidak terlalu ambisiuskah gagasan menggelar sebuah tribunal? Saya tahu sekilas beberapa tribunal rakyat internasional lain yang pernah diselenggarakan, yang pengorganisasiannya memakan waktu bertahun-tahun, dengan tenaga hukum profesional dan dana yang tidak kecil. Mana mungkin segelintir aktivis akan mampu mensukseskan kerja yang demikian besar?
Di lain pihak, apa lagi yang bisa dibuat? Dalam benak saya terlintas berbagai upaya korban dan penyintas Tragedi 1965 bersama pegiat HAM, yang sudah pernah dilakukan untuk mengakhiri kebungkaman di seputar episode sejarah yang berdarah itu. Paling tidak, beberapa upaya yang saya tahu, antaranya aksi-aksi korban dan aktivis HAM tahun 1990-an, pendirian Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 (YPKP), batalnya Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU no 27/2004), dan kasus-kasus penyerangan terhadap penggalian kembali kuburan massal. Jika upaya di tingkat nasional ternyata samasekali tidak cukup untuk mencapai penyelesaian, lalu bagaimana? Bergerak di tataran internasional mungkin satu-satunya jalan, untuk –-paling tidak, mencari pengakuan pihak negara atas kejahatan yang dilakukan aparatnya di masa itu.
Pertengahan 2014, saya mulai hadir di rapat-rapat IPT’65. Bermacam bentuk pertemuan: rapat umum untuk anggota dan simpatisan, rapat organisasi dan kesekretariatan. Berangsur-angsur saya menjadi lebih aktif.
Kisah keluarga
Perebutan kekuasaan oleh Suharto tahun 1965/66 menentukan nasib keluarga saya. Hidup ketika itu berubah cukup drastis.
Di tahun 50-an hingga 1965, ayah saya dikenal sebagai seorang Sukarnois, yang aktif di sayap kiri PNI. Selain itu, ayah mengajar sebagai guru besar di bidang hukum. Pada akhir tahun 1965, saya dengan keluarga tinggal di Bandung.
Segenap kegiatan ayah terpangkas oleh rezim Orde Baru. Dari seorang yang biasa tampil dan lantang tanpa basa basi, ayah dipaksakan untuk diam. Untung ayah masih bisa ke luar rumah, walaupun lebih sering mengurung diri di kamar dan menulis. Nyaris bersembunyi. Setiap saat dia bisa ditangkap untuk disekap. Beberapa kali muncul seorang kawan ayah yang tahu gunjang-ganjing politik, ia mengisyaratkan agar ayah minggat sementara ke Jawa Timur, sebab Bandung dianggap kurang aman.
Oleh situasi ini, pencarian nafkah keluarga sepenuhnya tertumpu pada ibu saya, yang mengajar bahasa Inggris. Sementara itu, soal tempat tinggal menjadi masalah. Terusir dari rumah dinas dalam kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, kami terpaksa memburu tempat yang semurah mungkin. Mengembara dari satu tempat ke yang lainnya, biasanya tidak lebih dari paviliun kecil atau ruang garasi. Itu pun tidak pernah untuk waktu lama. “Harga sewa rumah melejit, barangkali karena laju masuknya para investor ke pasaran rumah.” Begitu penjelasan ibu saya, setiap kami terpaksa pindah lagi. “Juga, untuk pihak penyewa, menampung orang seperti kami memerlukan keberanian,“ sambung ibu.
Suasana politik mencekam. Bicara politik menjadi barang haram. Ekonomi Yes, Politik No, demikianlah bunyi slogan yang umum ketika itu. Di masa itu, saya menjalani kelas terakhir SMA, lalu masuk kuliah di ITB.
Yang masih terbayang dengan jelas tentang masa di SMA, adalah banyaknya jam sekolah yang ‘kosong’. Bukannya belajar yang diperintahkan, melainkan keluar gedung sekolah untuk turut berdemo. Para murid sekolah tidak diberi tahu untuk apa turun ke jalan. Yang teringat oleh saya adalah, bahwa kami diharuskan ikut meneriakkan berbagai slogan, seperti: “Bubarkan PKI!” dan “Go to hell, Komunis”. Dan bahwa dalam diri saya terasa ada penolakan keras mengucapkan slogan-slogan itu, sehingga hanya bibir saja yang saya paksakan bergerak. Tanpa suara.
Kendati sebagai gadis berumur 15-16 tahun tidak banyak yang saya ketahui tentang pergolakan politik yang sedang terjadi, saya merasa bahwa ada yang benar-benar tidak beres. Bahwa di pemerintahan di Jakarta kekuasaan telah berbalik total, bahwa kawan telah menjadi lawan, dan sebaliknya.
Saya paham betul bahwa saya harus harus menyimpan rahasia. Jika ditanya orang mengapa ini itu, saya harus hati-hati, jangan sembarangan bicara. Dan sebenarnya saya masih beruntung, karena sampai sejauh ini tidak ada teman dekat yang menjauhi, atau menghilang.
Lain halnya dengan orang tua saya. Sedikit demi sedikit terdengar cerita tentang kenalan ayah yang ditangkap dan tidak lagi diketahui nasibnya. Awalnya, lebih sering teman yang memiliki hubungan dengan organisasi seperti Baperki, SOBSI, PKI. Orang tua saya terbiasa memelihara hubungan baik dengan orang dari beragam kubu politik. Tidak mengherankan, ada juga kawan keluarga, walaupun hanya beberapa, yang menjauhi kami.
Setiap kali pulang berkunjung dari kawan, atau dari Jawa Timur, ayah membawa berita baru yang mengenaskan, tentang pembantaian yang tidak terbayang kejamnya dan mengerikan. Berita-berita itu hanya diteruskan kepada ibu, tetapi sepotong-potong bisikan ayah sampai juga ke telinga saya. Semua itu mempertebal kegundahan dan rasa takut.
Lama-kelamaan suara yang mendorong ayah untuk pergi ke luar negeri semakin kencang. Ibarat kode bahaya merah. Mulai tahun 1968, ibu berupaya untuk memperoleh visa, melalui keluarga kami di Belanda. Yang penting, ayah dulu yang lari.
Pada bulan Juni 1969, ayah saya berangkat. Kini giliran ibu mengatur hal yang sama untuk dirinya dan saya. Walau akhirnya berhasil, hal ini dilakukan dengan tidak gampang. Bukan visa yang menjadi masalah. Kami disandera untuk memaksa ayah kembali, paspor kami disita. Hanya melalui pendekatan yang berliku-liku dengan aparat pemerintah, dan pergulatan alot melawan birokrasi Dinas Imigrasi, ibu berhasil meraih kembali paspor kami. Pergulatan yang berkepanjangan itu nyaris mematahkan seluruh enerji mental ibu. Kami tiba di Belanda pada tanggal 1 Oktober (sic !) 1970.
Aktif di Belanda
Dari awal saya sadar, inilah tempat hidup saya yang baru. Betah atau pun tidak. Tanpa ampun, tanpa kemungkinan untuk kembali. Paling tidak, untuk rentang waktu lama, barangkali lebih dari sepuluh tahun, begitu perkiraan saya.
Tentu saja saya merasa galau. Terdampar di negeri asing, betapapun ini negeri sebagian keluarga saya. Lingkungan di dekat rumah kakek saya tampak serba kelabu, seakan tiada warna lain. Angin dingin musim gugur menerpa kulit leher dan kepala, hati disayat rasa rindu pada semua yang saya tinggalkan di Bandung.
Namun, tiada waktu untuk diam sedih berlarut-larut. Tantangan baru memaksa saya untuk bergerak. Pertama, mencari jalan untuk melanjutkan studi di Delft.
Di satu sisi, penyesuaian diri dengan kehidupan di Belanda lumayan mudah, karena saya sudah mampu berbahasa Belanda, berkat ketekunan ibu yang sudah mengajarkan saya sejak dulu. Di lain sisi, studi dan lingkungan sosial yang baru menuntut curahan tenaga mental saya secara total. Beban masa lampau terasa mengganjal, dan mesti saya sisihkan. Agaknya, untuk bisa survive ketika itu, masa lalu harus ‘dilupakan’ sementara.
Dipenuhi rasa ingin tahu saya terjun ke ´dunia bebas berbicara´ dengan pengetahuan baru yang bertebaran di mana-mana. Sungguh mempesona. Ada gerakan mahasiswa, gejolak dan reformasi di kampus, demonstrasi melawan perang di Vietnam, gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, aksi solidaritas dengan gerakan hak-hak warga di AS, dan banyak lagi.
Kesadaran politik saya berkembang cepat. Tidak mengherankan, mengingat latar belakang keluarga saya. Dengan gigih saya mempelajari antara lain marxisme dan teori dependencia. Di tahun 70-an, kelompok aksi solidaritas dengan negara ‘dunia ketiga’ menjamur. Selama beberapa waktu saya bergabung dengan kelompok kerja untuk Chili, di mana pada tahun 1973 rezim sosialis Allende digulingkan dan tengah terjadi pembunuhan, penyiksaan serta penghilangan terhadap ribuan pengikutnya.
Jarak saya dengan lingkar mahasiswa Indonesia di Delft melebar. Di antara mereka, jarang ada yang bersemangat untuk turut berkecimpung dalam aksi-aksi yang berbau politik kiri. Mereka acuh, segan berbicara tentang politik dunia. Karenanya, di lingkar itu saya merasa semakin sumpek. Ada juga tipe mahasiswa yang malah sengaja saya hindari. Yaitu yang kelewatan ramah, gemar mengikuti gerak gerik dan kisah orang: tipe yang dicurigakan mata-mata kedutaan.
Datang saatnya, pada akhir tahun 1970-an, pertalian bathin dengan Indonesia kembali menggelitik saya, dan tidak mungkin dipungkiri lagi. Dibekali dengan kesadaran politik ‘baru’ dan pengalaman aksi, saya mulai aktif di kelompok solidaritas Komitee Indonesië. Rajin membuat kliping koran dan menulis, sebagai anggota redaksi newsletter Indonesië Feiten en Meningen. Bersama Tapol dan Amnesty International, Komitee Indonesië turut berkampanye untuk pembebasan tapol 1965/66.
Pada awal tahun 1980-an, saya kembali ke Indonesia dan melakukan wawancara dengan beberapa sastrawan eks-tapol, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin dan Hersri Setiawan. Dan menulis untuk satu-dua majalah berbahasa Belanda. Berkunjung ke Indonesia dengan mudah dan aman dimungkinkan oleh paspor Belanda saya. Paspor tersebut saya peroleh secara otomatis ketika ayah saya pada tahun 1972 menukarkan statusnya yang stateless dengan kewarganegaraan Belanda.
Sejalan dengan pendalaman sejarah dan politik Indonesia, saya semakin tahu kejadian di seputar Tragedi 1965. Kembali terlintas pengalaman saya di Bandung lebih dari 10 tahun sebelumnya, kali ini dengan sorot pandang yang berbeda, dengan pemahaman yang lebih utuh tentang latar belakangnya.
Selama rentang waktu 30 tahun berikutnya, keterlibatan saya dengan permasalahan di Indonesia malah semakin dalam dan langsung. Saya menetap di Lombok selama 5 tahun –mengikuti pasangan saya ketika itu, dan menangani sebuah proyek pengembangan desa yang didanai Belanda. Lalu, di akhir tahun 1980-an saya terlibat di sebuah proyek penelitian di Jawa Barat. Terakhir, sebagai program officer di sebuah lembaga dana Belanda, cukup lama saya menangani beberapa wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Menekuni permasalahan HAM memenuhi panggilan hati saya. Tidak mungkin tidak, emosi sering tersentuh oleh perjuangan melawan ketidakadilan, melawan pelanggaran HAM. Di Sri Lanka, India, Bolivia dan Peru. Dan juga di Aceh, Sumatera Utara dan Papua. Sentuhan yang paling emosional saya alami ketika terlibat dalam proses perjuangan rakyat Timor Timur melawan pendudukan Indonesia, kendati hanya sebagai pendukung.
Dari segala yang pernah saya lihat dan tekuni, saya semakin memahami bahwa kekerasan, pelanggaran HAM, dan impunitas merupakan rangkaian yang menutup jadi lingkaran setan. Yang harus didobrak. Di Indonesia, di Asia, di mana pun.
Suka duka di IPT ’65
Yang membuat saya terpana adalah kerberhasilan IPT’65 menyelenggarakan tribunal dalam waktu kurang dari dua tahun dengan dana begitu terbatas. Sudah pasti, komitmen yang kuat menjadi modal utama, tapi komitmen saja tidak cukup.
Beragam kemampuan dan profesi diperlukan untuk menjalankan dan mengelola proses yang serba rumit, interaktif dan berlapis-lapis. Bidang garapannya pun bermacam-macam: hukum peradilan internasional, human rights, (penelitian) sejarah, pendanaan dan keuangan, komunikasi di dalam dan ke luar, keamanan para saksi, media dan informasi, penterjemahan sebelum dan selama tribunal, kesekretariatan, logistik dan lain-lain.
Melihat segunung tugas yang garang menantang, tidak sulit untuk menyerah saja. Bagusnya, seluruh proses didukung oleh tekad semangat Yes We Can !
Karya besar IPT’65 tidak pernah terlaksana, andaikata mayoritas aktor tidak bekerja cuma-cuma. Saya salut kepada semua para saksi korban dan ahli yang berani mengambil risiko, datang dan memberi kesaksiannya. Saya salut kepada semua hakim internasional, jaksa, panitera dan aktor tribunal lainnya untuk bekerja begitu keras, tanpa imbalan. Salut kepada semua teman-teman di panitia penyelenggara.
Tentu ada bermacam suka duka. Banyak suka didapat dari rasa kebersamaan dalam upaya menyukseskan tribunal. Tetapi proses tidak selalu lancar. Ada perbedaan watak dan gaya, yang kadang menyebabkan benturan dan kekesalan.
Ada saat semangat terasa anjlok. Saya sendiri kadang frustrasi, setiap kali ada hakim yang sudah susah-susah dikontak, menolak, atau yang sudah berhasil digaet, toh menarik diri. Jika masukan untuk sebuah dokumen tidak kunjung tiba, atau permintaan informasi tidak dijawab. Atau, jika mendadak dihadapkan pada pekerjaan yang belum pernah digeluti sebab ada masalah di sekretariat. Dan hal semacam itu, terjadi dua bulan sebelum hari H ! Tak heran, kala itu suasana menjadi kalang kabut. Terima kasih kepada teman-teman yang tidak pernah kehilangan humornya, dalam kondisi seberat apapun.
Minggu-minggu terakhir ibarat berada di kereta yang semakin cepat meluncur, dengan tubuh yang di setiap belokan nyaris terlempar ke luar dan nyangkut di semak belukar yang penuh duri. Puncaknya, empat hari sidang tribunal – 10 s/d 13 November 2015. Dengan dimulainya sidang, berakhirlah kerja saya. Gantinya, puluhan sukarelawan bergabung dengan teman-teman lain, mondar mandir mengatur acara.
Terlihat para hakim dari manca negara duduk berjejer di belakang meja utama. Hakim ketua, yang suaranya membuat orang tersentak dalam rasa kagum. Masing-masing saksi korban duduk tegap, dengan wajah hening dan penuh konsentrasi. Kesaksian yang kadang menyayat hati, diucapkan dengan getar emosi, namun tanpa keraguan. Seluruhnya terjadi di dalam ruang ibadah Nieuwe Kerk yang luas, tinggi-megah dan anggun, yang untuk kesempatan ini disulap menjadi tempat persidangan.
Hingga kini, bayangan hari-hari itu melintas di depan mata seperti sekedar mimpi – seakan sesuatu yang tidak pernah nyata terjadi.
ooooooooooo